Bel panjang SMK Pengasih sudah lama
berhenti berdering. Lingkungan sekolah juga sudah nyaris sepi, hanya beberapa
anak yang masih berjalan terburu-buru melintasi koridor-koridor menuju kantin. Mereka pastinya siswa-siswa jurusan Teknik Komputer yang
akan mengadakan praktik kejurusan.
Freya berjalan menuju
bangku ditengah taman sekolah. Bangku itu ada tepat dibawah pohon flamboyan. Ia
duduk dan memandang langit cerah diatasnya.
Ia
lalu memejamkan mata menikmati hembusan angin sepoi yang
menebarkan aroma aneka bunga. Dan segera membuka kelopak matanya
ketika seseorang menepuk bahunya.
“
Hai, Freya. Sedang memikirkan apa?” tanya
Saski, teman
sebangkunya. Ia lalu duduk di sebelah Freya dan menatapnya dengan serius.
“Tidak
ada. Hanya menenangkan diri,” jawab Freya sambil membuka tasnya untuk mengeluarkan
kotak makan siangnya.” Mau kue ?”
“Hehehe...
Siapa yang tidak mau kue enak gratis?”, Saski mengambil sepotong kue dari kotak
yang disodorkan Freya. “Menenangkan diri, kah? Sementara, kau menawarkan ‘obat
penenangmu’ kepadaku.” Saski memakan potongan kue itu dengan lahap.
“Jadi,
apa yang ingin kau tunjukkan padaku?” tanya Saski, tiba-tiba. Saski memandang Freya,
penasaran.
“Ini...
Bacalah...” jawab Freya, mengulurkan poselnya.
Saski
membaca pesan-pesan diponsel itu itu dengan wajah keheranan.
“Pesan
mengerikan apa ini?” tanya Saski, ia memandang Freya dengan tatapan tajam. “ Dia
memutuskanmu... ? Karena, dia sudah dijodohkan oleh ibunya?”
Saski
terlihat berusaha keras menyembunyikan tawanya. Freya memandang Saski dengan
jengkel.
“Kalau
mau tertawa... Tertawa saja.” ujar Freya ketus.
“Kenapa
dia tidak menjelaskan langsung?,“ tanya Saski, mengabaikan Freya.
“Dia
diluar kota. Aku kan sudah pernah memberitahumu?” jawab Freya, mengambil
kembali ponselnya dan memasukkannya kedalam saku seragamnya.
Freya baru saja
memasukkan bekal kosongnya kedalam tasnya ketika Wita berjalan dengan riang
menghampiri mereka. Senyumnya tampak jelas terkembang.
“Ada apa? Kenapa
senyum-senyum begitu?” tanya
Saski, keheranan tetapi ikut tersenyum-senyum juga.
“Aaahhhhh, kalian tahu tidak ?” senyum
Wita semakin terkembang di bibirnya. Ia lalu duduk diantara kedua sahabatnya.
“Tahu apa?,” tanya Freya,
penasaran.
“Aku sedang bahagia!!,” ucap Wita
dengan mata berbinar-binar.
Freya bertukar pandang
dengan Saski, kedua alisnya terangkat. Saski hanya mengangkat kedua bahunya,
tanda tidak tahu.
“Eh, apa rencana kalian malam
minggu besok?,” tanya
Wita bergantian memandang kedua sahabatnya.
“Mmm,… aku …. Malam minggu
besok ada acara dengan Ali” jawab Saski malu-malu. “ Pulang sekolah tadi dia
baru saja mengajakku
“
“Yaah, sayang sekali. Padahal
aku ingin mengenalkan seseorang,” Wita terdengar sedikit kecewa, ia lalu memandang Freya. “Nah, kalau kamu, Frey?”
“Dirumah saja, tidak ada kegiatan
hehehe,” jawab Freya sambil meringis menampakkan giginya yang rapi. “Memangnya
ada apa, sih?”
“Aku punya ini.” Wita
membuka tasnya dan menunjukkan empat lembar karcis kepada mereka. ”Cowokku
mendapat tiket gratis untuk pembukaan Central Dream Park, dia memberiku
beberapa. Aku ingin mengajak kalian datang ke pembukaan itu.”
“Yaa, Wit. Bagaimana
dong? Aku sudah terlanjur janji dengan Ali,” ujar Saski, “Tapi, kenapa tiketnya
banyak sekali?”
“Hehehe, ini kan masih
promosi. Jadi, Central Dream Park memang sedang membagi-bagikan banyak tiket
gratis,” jawab Wita, nyengir.
“Berarti kalau kamu
berduaan dengan pacarmu. Aku nganggur, dong? Jadi obat nyamuk,” tukas Freya, “ Masa
aku mau ngikutin kalian? Kayak bodyguard.”
“Aku juga mau ikut.” Sebuah suara
mengejutkan mereka bertiga.
“Ya ampun, Dio!” Freya menoleh,
kaget, “Sejak kapan berdiri
disitu?”
Dio ternyata sudah berdiri menyandarkan bahunya di pohon
flamboyan itu sejak tadi.
“Aku juga mau ikut ke Central
Dream Park” Dio mengabaikan Freya, menatap Wita, dengan tatapan memohon. “Boleh
kan?”
“Woi, kenapa kau harus
ikut juga?” tanya Freya, kesal.
“Sudahlah, biarkan saja dia ikut”
ujar Saski, tersenyum lalu mengedip kepada
Freya, “Sekalian untuk
menemanimu.”
“Ah… baiklah. Tidak
masalah... Hehe… ” jawab Wita, tersenyum. “Tapi, karena ini tiket
paket gratis maka kita harus masuk
bersama-sama. Tidak masalah kan?”
“Oke, kita ketemu di
halte bus dekat sekolah saja.
Sampai ketemu besok.” Dio tersenyum dan beranjak pergi sebelum melambai pada
mereka bertiga.
Suasana diliputi
kegelisahan dan kejengkelan ketika Freya dan Wita duduk menunggu yang lain di
halte bus. Sudah hampir setengah jam mereka menunggu, dan Freya sudah membaca bab kedua novel “Harry Potter
And The Socerer’s Stone”nya. Tapi, belum terlihat satu orangpun yang menampakkan
batang hidungnya. Baik Dio maupun kekasih Wita, yang masih ia rahasiakan
namanya.
Freya mendongak
memandang Wita yang masih sibuk dengan handphone di tangannya. Ia kembali meneruskan
bacaannya, dan terlonjak kaget ketika
novelnya dengan tiba-tiba terangkat keatas.
“Hei!!”
Seru Freya terkejut.
“Wajahmu jelek sekali,”
kata Dio sambil menahan tawa, ia memandang novel yang ia angkat keatas lalu ditatapnya Freya “kalau sedang membaca, ekspresimu seperti ini...”
Dio
membuka novel itu, mengerutkan kening dan menyipitkan matanya memandang novel
terbuka di kedua telapak tangannya. Ia lalu tertawa.
“Itu berlebihan,” tukas Freya,
kesal. “Apanya yang lucu?”
Freya
menatap Wita jengkel yang ikut tertawa bersama Dio.
“Hai, sudah kumpul semua,
ya?” seru
Saski yang sudah datang bersama Ali.
“Hah..!? Saski, Ali…” pekik Wita, memandang Saski
dan Ali, yang berjalan dengan riang kearah mereka.
“Kami juga akan ke Central
Dream Park. Hehe…” kata Saski, setelah duduk di sebelah Freya.
“Kita masih menunggu siapa
sih?” tanya Ali, memandang Dio.
“Ah, itu dia” Wita
melambaikan tangan dan tersenyum kepada seorang lelaki yang berjalan kearah
mereka. Semua mata segera tertuju kepada lelaki yang dilambai Wita.
“Sam ?!” seru Saski dan
Freya kaget. Ketika lelaki itu tiba disebelah Wita, yang memandang kedua
sahabatnya keheranan.
“Kalian sudah saling
kenal?” tanya Wita.
“Eh… mm … ” Saski,
salah tingkah.
“Kami dulu satu smp.
Kebetulan sekali ya?” jawab Freya, tenang.
“Yup… sebaiknya
reuninya kita tunda dulu.” seru Dio, ia
menunjuk sebuah bus yang berjalan mendekat kearah mereka.
“ Bus kita sudah datang. Tidak ada yang perlu ditunggu lagi, kan?”
“Yup...
Ayo..” Freya segera melompat berdiri dari bangku halte. Kemudian, tanpa
peringatan pandangannya menjadi gelap, tubuhnya limbung kehilangan
keseimbangan. Dio dengan sigap menangkap Freya sebelum terjatuh. Freya
berpegangan pada lengan Dio dan salah satu tangannya menekan kepala. Rasa
pusing karena bangkit tiba-tiba terasa berdenyut. Ia terdiam sesaat menunggu
denyut itu hilang.
Freya
membuka kelopak matanya sedikit, samar-samar matanya bertembung langsung dengan
mata Dio yang membulat cemas.
“Frey, .... “ panggil Saski, cemas.
Freya
memejamkan matanya lagi beberapa saat mengumpulkan titik-titik cahaya menerobos
korneanya. Sekarang ia bisa melihat, Saski sudah berdiri disamping Dio, matanya
memancarkan kekhawatiran.
“Kau tidak apa-apa?” tanya
Dio.
“Ah,
aku tidak apa-apa.” ujar Freya, tersenyum kepada keduanya. Ia melepaskan pegangannya
di lengan Dio. “Hanya
darah rendah. Ingatkan aku untuk banyak-banyak makan daging saat makan siang
nanti.”
Freya
berjalan mengikuti Wita dan Sam yang sudah berdiri di depan pintu bus. Dio
segera berlari menyusulnya. Saski menoleh memandang Ali, yang tersenyum
menenangkannya.
“
Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja. Dia bukan gadis lemah, kan?” kata Ali,
menenangkan Saski. Ia lalu menarik Saski menaiki bus itu.
@@@
“Kau tidak apa-apa, Frey?”
tanya Saski, khawatir. Setelah mereka duduk di bangku sebuah kedai. Freya
berpaling menatapnya dan tersenyum.
“Hehe... Aku baik-baik saja kok.” jawab Freya ceria,” Ya ampun.
Itu kan sudah biasa, Saski. Kamu kan tahu aku darah rendah. Kalo terlalu
lama.....”
“Bukan itu maksudku “ potong Saski, gusar.
Freya menatapnya keheranan,” Lalu, kenapa?”
Saski memalingkan muka,
Memandang Sam dan Wita yang berjalan menjauh menghilang di keramaian. Freya mengikuti
arah tatapan Saski.
Freya membulatkan mulutny membentuk huruf “o”. Ia membuka
halaman-halaman “Harry Potter And The Socerer’s
Stone”nya.
“ Saski, itu sudah menjadi masa lalu” ujarnya.
“Tapi, aku kaget sekali. Ternyata, Sam dijodohkan dengan
sahabat kita,” desis Saski, geram. “dia bahkan tidak memandang kita”
“Saski,....” panggil Freya, pelan. Saski memalingkan
wajahnya, menatap Freya yang merenung matanya. Freya meletakkan novelnya
terbuka di atas meja.
”‘Hidup tak selalu
sesuai keinginanmu. Selalu ada masalah, namun masalah membawa pengalaman, dan
pengalaman membawa kebijaksanaan. Ketika tuhan memberimu masalah, dia tahu
bahwa kamu pasti bisa melaluinya. Mungkin akan ada luka, tapi itu semua buatmu
dewasa. Jika kamu ingin hidup bahagia, mulailah meninggalkan segala sesuatu
yang membuatmu tak bahagia.’ Begitu kata Pak Mario Teguh, kalau aku tidak salah
ingat, hehe... “ ujar Freya, mengutip salah
satu nasihat dari seorang motivator di televisi.
Freya tersenyum dari atas bukunya. Saski mendengus pelan.
“Ya...ya... baiklah....” Ia bangkit berdiri. Melambaikan
tangannya kepada Ali yang mengangkat dua kemasan makanan cepat saji.
“Kami akan makan ditempat lain. Dan kau juga harus membuka
hatimu untuk Dio, ya..” kata Saski sambil mengedipkan sebelah matanya dan
berlari menghampiri kekasihnya.
Freya menatap Saski dengan malas. Ia lalu menghela nafas dan menatap ke
sekitar. “Aku sendirian, Dio lama banget sih,” sungutnya.
“Ma’af...antrinya panjang dan lama,” kata Dio, ia meletakkan nampan berisi dua gelas soft
drink dan dua bungkus hamberger.
Freya menatap Dio yang duduk di depannya.
“Kenapa?” tanya Dio. Ia mengulurkan sebungkus hamberger
kepada Freya.
“Nothing.
Thanks,” jawab Freya dengan tersenyum menerima hambergernya. Dan
mulai melahap roti itu dengan lahap.
“Lho.. Mana Saski dan Ali?” tanya Dio, menatap Freya
dengan alis terangkat.
“I dunno...” Geleng
Freya dengan mulut penuh.
“Are you alright?”
tanya Dio, memandang Freya, khawatir.
Freya memalingkan wajahnya memandang Dio dengan alis
terangkat.
“Ehm.. Yah, aku punya tekanan darah rendah. Hanya itu...”
“Bukan itu...” sanggah Dio, “ Apakah kau ingin pulang?
Aku akan mengantarmu, kalau kau ingin pulang”
“Eh.. Kenapa pulang??” tanya Freya, keheranannya bertambah.
Ia lalu bangkit
berdiri dengan wajah kesal. ”Kalau
kau tidak suka bersamaku. Ya sudah... Aku akan pergi.”
Freya menyambar novelnya yang tergeletak diatas meja.
Tapi, Dio lebih cepat, ia menjauhkan novel itu dari jangkauan tangan Freya.
“Ya,sudahlah. Aku masuk sendiri
saja.” Freya beranjak pergi. Ia sudah malas berdebat dengan Dio.
”Jangan lupa. Novelku dikembalikan utuh.”
Freya baru berjalan beberapa langkah dari kedai makan dan
melempar sisa burgernya kedalam tong sampah terdekat dengan wajah masam.
Beberapa saat kemudian, Dio berlari menjejerinya.
“Apa kau bawa tiketnya?” tanya Dio dari samping Freya.
Freya merogoh kantong depan tasnya. Ia baru menyadarinya,
tiketnya kan masih dibawa Wita... Ya, ampun....
“Tenang saja. Wita tadi menitipkan tiketnya kepadaku”, Dio
tersenyum penuh kemenangan, menepuk-nepuk kantong t-shirt nya.
“Mana punyaku?” tanya Freya ketus, ia mengulurkan
tangannya di depan Dio. Senyuman Dio makin lebar melihatnya.
“Karena, aku yang memiliki tiketnya. Jadi, aku yang akan
menentukan permainannya...” kata Dio. Ia menarik tangan Freya yang terulur, “yang
pertama... Kita kerumah hantu...”
“Hei.....” teriak Freya, terkejut. “ Hei... Hei... Kenapa
ke sana?”
Freya setengah terseret mengikuti langkah-langkah Dio.
Dio berhenti dan menghadap Freya.
“Kenapa? Kau takut hantu ya..?” tanya Dio. Senyum
jahilnya mengembang semakin lebar. Freya memalingkan wajahnya.
“Aku hanya tidak ingin mengingat masa lalu”, jawab Freya,
lirih.
“Memangnya kenapa?” tanya Dio penasaran.
“Dulu aku pernah masuk kesana ... Bersama ... Em... Mantanku” jawab Freya, salah
tingkah,” aku hanya tidak ingin mengingatnya lagi,”
Dio menghela nafas panjang. Ia memalingkan wajah Freya
dan menatap kedua matanya.
“Frey, jangan pernah menyesali masa lalu. Karena, hari-hari
yang baik memberikan kebahagiaan, hari-hari yang kurang baik memberi
pengalaman, kedua-duanya memberi arti bagi kehidupan ini. Kadang kala kita
sering gagal dalam melakukan segala sesuatu, ingatlah.... No one is perfect, jadi
janganlah menyerah dan putus asa karena kegagalan yang kita alami ibarat sedang
menumbuhkan akar-akar yang kuat agar suatu hari dapat tumbuh setinggi-tingginya.” kata Dio, tersenyum sok bijak.
Freya tersenyum, mendengar Dio bicara sok bijak begitu.
“Mmm... Kau kelihatan lebih manis kalau tersenyum,
hehe..” usik Dio.
Ia lalu menarik Freya menuju ujung sebuah antrian panjang
pengunjung.
“ Pertama, kita naik roller coaster...”
“Yah,
baiklah.” Freya mengangguk lemah. “ Apapun... Selain hantu”